Monday, February 13, 2017

Regurgitasi Mitral

Definisi 

Mitral regurgitation adalah terjadinya aliran balik darah dari ventrikel kiri (LV) ke atrium kanan (LA).
Penyebab terjadinya regurgitasi mitral primer yaitu sindroma prolaps katup mitral, penyakit jantung rematik, endokarditis infektif dan penyakit jaringan kolagen. Regurgitasi mitral juga dapat terjadi secara sekunder karena dilatasi anulus akibat dilatasi ventrikel kiri. Pada beberapa kasus seperti ruptur khorda, ruptur muskulus papilaris atau endokarditis infektif, Regurgitasi mitral dapat bersifat akut dan berat.

Etiologi 

Penyebab utama di negara maju adalah degeneratif dan iskemik. Degeneratif MR dapat berupa myxomatous degeneration, pemanjangan dan ruptur korda, kelainan posisi daun katup saat sistol, Marfan and Ehlers-Danlos syndrome. MR karena iskemik dapat terjadi karena ruptur muskulus papilaris atau karena disfungsi LV, sementara penyebab non-iskemia bisa karena penyakit rematik atau kardiomiopati.
Pada penyakit jantung rematik, MR sering ditemukan bersamaan dengan MS (40 %).10 Regurgitasi terjadi karena retraksi valvular maupun subvalvular dibandingkan penebalan. Penyebab lain adalah artritis rematoid, lupus eritematosus, sindrom antifosfolipid, penyakit karsinoid, karena pemakaian obat-obatan seperti methysergide, fenfluramine, dexfenfluramine atau pergolide. Penyebab lainnya adalah endokarditis yang dapat menyebabkan perforasi daun katup dan ruptur korda, dan juga karena vegetasi dan abses perivalvular.


Gambar 1. Etiologi dari regurgitasi mitral. 
MVP= mitral valve prolapse, SAM=systolic anterior motion.

Patofisiologi 

Pada MR terjadi regurgitasi darah abnormal dari LV ke LA pada fase sistol sebagai akibat dari penutupan katup mitral yang tidak sempurna dan perbedaan tekanan antara LV dan LA. MR bisa terjadi karena disfungsi satu atau lebih dari komponen berikut: anulus, daun katup, korda tendinea, muskulus papilaris dan LV.
Mekanisme regurgitasi adalah karena prolaps daun katup atau karena pemanjangan dan ruptur korda, hilangnya jaringan ikat katup karena retraksi, perforasi atau tarikan daun katup (biasanya katup posterior karena retraksi korda), atau karena remodeling LV menyebabkan perubahan katup.9
MR Kronis

Pada MR kronis, terjadi hipertrofi LV eksentrik akibat pemanjangan dari miosit karena dilatasi LV pada fase akhir diastol dan karena peningkatan stroke volume berdasarkan mekanisme Frank-Starling. Terjadi peningkatan compliance baik pada LV maupun LA. Volume regurgitan secara progresif dapat dikendalikan tanpa peningkatan tekan di LA dan tanpa kongesti di paru. Kondisi ini dapat bertahan sampai beberapa tahun. Hipertrofi konsentrik tidak terjadi karena peningkatan volume tidak dikompensasi dengan penebalan dinding LV. Mekanisme neurohormonal juga ikut teraktivasi, mengakibatkan disfungsi kontraktil progresif akibat kehilangan elemen kontraktil dan penanganan kalsium yang abnormal.


Gambar 2. Patofisiologi dari regurgitasi mitral.

Pada jantung normal, kontraksi LV pada fase sistolik mendorong darah melalui katup aorta menuju ke aorta; penutupan katup mitral mencegah aliran balik ke LA. Pada regurgitasi mitral, sebagian dari LV output mengalir balik ke LA, sehingga curah jantung yang masuk keluar ke aorta mengalami penurunan. Pada regurgitasi mitral kronis, sudah terjadi pembesaran LA dan lebih compliant, sehingga tekanan pada LA tidak terlalu meningkat sehingga gejala kongesti paru jarang terjadi. Pembesaran LV dan hipertrofi eksentrik adalah hasil dari peningkatan volume yang kronis.

Staging Regurgitasi Mitral Kronis

Berdasarkan guideline ACC/AHA tahun 2014 tentang manajemen pasien dengan penyakit jantung katup, staging regurgitasi mitral kronis dibedakan berdasarkan proses yang mendasari regurgitasi mitral tersebut, apakah regurgitasi mitral yang terjadi disebabkan oleh abnormalitas pada mitral valve apparatus itu sendiri (primer) atau bersifat fungsional (sekunder).

Tabel 6. Staging Regurgitasi Mitral Kronis Primer
Sumber : Guideline AHA Valvular Heart Disease 2014


Tabel 7. Staging Regurgitasi Mitral Kronis Sekunder 
Sumber : Guideline AHA Valvular Heart Disease 2014

Diagnosis 

- Anamnesis : MR akut yang berat ditandai dengan sesak yang berat, edema paru akut, atau congestif heart failure. MR kronis berat dapat asimtomatik sampai beberapa tahun, gejala mulai muncul kemudian karena terjadi disfungsi kontraktil atau terjadinya fibrilasi atrial.

- Pemeriksaan fisik: pada auskultasi terdengar systolic murmur. Pada MR moderate, murmurnya holosystolic (pansystolic murmur), dimulai dari BJ I berlanjut sampai BJ II, yang menjalar ke aksila. MR karena iskemik, puncaknya terdengar di awal fase sistolik. Sedangkan yang khas pada prolaps katup adalah mid-systolic click diikuti dengan late systolic murmur.

- Elektrokardiografi : pada irama sinus terdapat hipertrofi LA dan LV, dapat terjadi fibrilasi atrial, MR karena iskemik: gelombang Q dapat terlihat paling sering di inferior dan/atau lateral, LBBB mungkin terjadi.

- Foto toraks: pada MR kronis terdapat kardiomegali karena pembesaran LV dan LA, jika disfungsi jantung terjadi akan tampak tanda-tanda gagal jantung kiri. Pada MR akut, dapat terjadi edema interstisial atau alveolar paru.

- Ekokardiografi : merupakan pemeriksaan penting dalam mendiagnosis MR dan lebih spesifik lagi untuk menentukan etiologi, mekanisme, derajat keparahan, progresi dan konsekuensi, untuk penilaian kemungkinan dilakukannya tindakan valve repair.

- Kateterisasi jantung: sudah tidak dilakukan rutin, hanya dilakukan jika ada ketidakcocokkan antara klinis dan ekokardiografi. Angiografi koroner perlu dilakukan sebelum operasi katup.


Tanda yang paling khas dari regurgitasi mitral adalah adanya bising sistolik, pada sebagian besar kasus terjadi bising holosistolik (pansistolik). Bising dari regurgitasi mitral bersifat high-pitch, blowing dan kasar terutama pada prolaps katup mitral. Intensitas maksimum bising terdengar di apeks, dan menjalar ke aksila bila daun anterior katup yang mengalami gangguan, atau menjalar ke batas kiri sternum bila daun katup posterior yang mengalami gangguan. Bising dapat menurun dengan reduksi dari afterload atau reduksi ukuran ventrikel kiri dan meningkat dengan peningkatan afterload maupun ventrikel kiri.

Thursday, February 9, 2017

Gagal Jantung Kronik (Chronic Heart Failure)

PENDAHULUAN

Gagal jantung kronis, suatu ketidakmampuan jantung untuk mengusahakan sirkulasi yang adekuat, merupakan sindroma klinis dengan prevalensi yang tinggi sehingga menjadi salah satu masalah kesehatan global.  Selain terdapat perkembangan yang signifikan dalam hal tatalaksana, prognosis kelainan ini kurang baik, disertai tingginya pembiayaan yang harus ditanggung. Secara umum, prevalensi gagal jantung kronis cenderung meningkat pada populasi dengan usia yang lebih tua; dengan angka ketahanan hidup dan prevalensi faktor risiko yang semakin meningkat.

Regurgitasi mitral merupakan kelainan yang sering terjadi pada pasien dengan gagal jantung dan berhubungan dengan prognosis yang buruk.

Remodelling pada ventrikel kiri yang progresif ditandai oleh dilatasi ventrikel kiri yang progresif dan perubahan ke bentuk yang lebih bulat terdapat pada regurgitasi mitral fungsional sebagai akibat dari dilatasi anulus, displacement dari muskulus papilaris, dan tethering dari korda. Regurgitasi mitral fungsional memicu peningkatan preload, tegangan pada dinding jantung, dan beban kerja ventrikel kiri – semuanya berperan untuk memberikan umpan balik positif terhadap kejadian gagal jantung progresif. Regurgitasi mitral merupakan faktor risiko independen dari keluaran yang buruk, pada etiologi iskemik ataupun noniskemik.

Kelainan regurgitasi mitral derajat ringan yang tidak dikoreksi sekalipun, sama halnya dengan regurgitasi mitral moderat sampai berat terkait dengan kardiomiopati iskemik, berhubungan dengan penurunan usia harapan hidup dalam jangka panjang. Kelainan tersebut bersifat progresif dimana regurgitasi mitral terkait volume overload pada ventrikel kiri memicu remodeling ventrikel kiri yang memperburuk regurgitasi mitral.


Definisi 

Berdasarkan guideline gagal jantung akut dan kronis ESC 2016, gagal jantung didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis yang ditandai dengan gejala tipikal (antara lain sesak nafas, pembengkakan tungkai bawah, dan mudah lelah) yang disertai dengan suatu tanda (peningkatan tekanan vena jugularis, rhonki, dan edema perifer) disebabkan oleh kelainan baik struktural ataupun fungsional pada jantung, yang menyebabkan penurunan cardiac output dan/atau peningkatan tekanan intrakardiak pada kondisi istirahat atau selama stres.

Secara klinis, gagal jantung juga dapat didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis dimana pasien mempunyai gejala-gejala khas seperti : sesak nafas, pembengkakan kaki, mudah lelah, dan tanda-tanda fisik seperti : takikardia, takipneu, peningkatan tekanan vena jugular, rhonki di kedua lapangan paru, hepatomegali, dan edema perifer.

Sebelum munculnya gejala klinis, dapat terjadi suatu abnormalitas jantung yang bersifat struktural ataupun fungsional namun asimptomatik (disfungsi sistolik atau diastolik dari ventrikel kiri) sebagai prekusor kejadian gagal jantung. Mengetahui prekusor ini penting sebab kondisi tersebut berhubungan dengan prognosis yang buruk dan memulai terapi secara dini pada kondisi tersebut akan menurunkan mortalitas pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri.

Menentukan penyebab dari disfungsi ventrikel sistolik atau diastolik merupakan hal yang penting dalam diagnosis gagal jantung. Penyebab tersebut antara lain abnormalitas miokardium, abnormalitas katup, perikardium, endokardium, irama jantung, dan gangguan konduksi – kelainan tersebut akan membawa konsekuensi pada jenis terapi seperti pembedahan untuk koreksi atau penggantian katup pada kelainan valvular, terapi farmakologis yang spesifik pada gagal jantung dengan penurunan ejection fraction, atau menurunkan frekuensi nadi pada takikardiomiopati, dsb.

Klasifikasi

Sampai saat ini, terdapat beberapa klasifikasi gagal jantung yang digunakan secara luas. Diantara klasifikasi tersebut adalah menurut The American College of Cardiology and American Heart Association (ACC/AHA) dan The New York Heart Association (NYHA) seperti dalam tabel berikut :
                       
    Tabel 1. Klasifikasi Gagal Jantung menurut ACC/AHA dan NYHA (Sumber : Circulation 2005)


Klasifikasi gagal jantung menurut The American College of Cardiology and American Heart Association (ACC/AHA) didasarkan pada kelainan struktural dan ancaman terhadap kerusakan otot jantung, lebih menggambarkan progresifitas perjalanan gagal jantung dan bersifat linier. Sedangkan klasifikasi The New York Heart Association (NYHA) bersifat fungsional dan menggambarkan tingkat keparahan gejala.

Etiologi

Terdapat berbagai etiologi dari gagal jantung yang dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Banyak pasien dengan gagal jantung disebabkan oleh etiologi kardiovaskular atau nonkardiovaskular yang digambarkan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Berbagai etiologi dari Gagal Jantung (Sumber : ESC Guideline 2016)


Manifestasi Klinis

Manifestasi utama dari gagal jantung adalah sesak, mudah lelah atau penurunan toleransi aktifitas dan adanya retensi cairan berupa edema paru ataupun edema perifer.
Keseluruhan gangguan tersebut menurunkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup penderita. Tetapi tidak seluruh gejala muncul pada semua pasien gagal jantung pada saat yang bersamaan. Sebagian pasien mengalami penurunan toleransi aktifitas tetapi tidak mengalami retensi cairan, dan sebaliknya sebagian pasien mengeluh adanya tanda retensi cairan yang nyata, tetapi dengan keluhan sesak dan mudah lelah yang minimal. Hal ini karena tidak semua pasien mengalami kelebihan cairan pada onset gagal jantung, sehingga istilah gagal jantung lebih tepat dibanding istilah lama gagal jantung kongestif.

Tabel 3. Gejala dan tanda tipikal dari gagal jantung (Sumber : ESC Guideline 2016)


Diagnosis 

Untuk mendiagnosis gagal jantung ada beberapa kriteria yang digunakan, Guideline ESC 2016 membagi diagnosis gagal jantung menjadi 3 golongan berdasarkan klinis dan kelainan struktural serta fraksi ejeksi ventrikel kiri (Left Ventricle Ejection Fractiont / LVEF) yaitu gagal jantung dengan fungsi sistolik menurun (Heart Failure with Reduced Ejection Fraction/ HFrEF), gagal jantung dengan fungsi sistolik normal (Heart Failure with Preserved Ejection Fraction/ HFpEF), atau gagal jantung dengan fungsi sistolik sedang (Heart Failure with mid-range Ejection Fraction/ HFmrEF).


Sedangkan berdasarkan kriteria Framingham kriteria gagal jantung adalah sesuai tabel berikut :

Tabel 5. Kriteria Gagal Jantung menurut Framingham
=========================================================
Kriteria Mayor
Paroxysmal nocturnal dyspnea atau orthopnea
Distensi vena leher
Ronkhi basah halus
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peningkatan tekanan vena > 16 cmH2O
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam waktu 5 hari sebagai respon terapi
Refluks hepatojuguler
Kriteria Minor
Edema tungkai
Batuk malam
Dyspnea on exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Kapasitas vital berkurang 1/3 dari nilai maksimal
Takikardia ( ≥ 120 kali/menit)
=========================================================
Diagnosis definitif gagal jantung : 2 kriteria mayor atau 1 mayor dan 2 minor.

Pemeriksaan Penunjang Diagnostik

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada gagal jantung bermanfaat untuk membantu menegakkan atau menyingkirkan diagnosis maupun penyakit penyerta yang mengikuti gagal jantung. Pemeriksaan rutin yang sering dikerjakan yaitu pemeriksaan hematologi rutin, maupun biokimia seperti : LFT, RFT, elektrolit, gula darah.

Rontgen Thorax
Peran utama dari foto rontgen adalah untuk menyingkirkan penyebab lain sesak nafas seperti efusi pleura, pneumothorak, karsinoma paru, atau pneumonia. Gambaran edema paru pada rontgen thorak mendukung untuk diagnosis gagal jantung. Rasio cardio-thorax (CTR) juga mempunyai peran yang moderat dalam mengidentifikasi gagal jantung sebagai penyebab sesak nafas.6 Perlu juga diperhatikan bahwa disfungsi sistolik ventrikel kiri dapat terjadi tanpa adanya kardiomegali pada rontgen toraks.

Elektrokardiografi
Dalam praktek klinis, EKG digunakan untuk mendeteksi adanya aritmia dan dapat dipakai sebagai bukti terjadinya infark miokard atau hipertrofi ventrikel pada waktu yang lalu. Banyak penelitian yang mendukung bahwa gambaran EKG yang normal jarang didapatkan pada pasien gagal jantung, tetapi nilai prediksi positif ini rendah pada pasien lanjut usia dimana gambaran EKG nya biasanya abnormal.

Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal adalah suatu metode pemeriksaan yang sederhana, aman, dan efektif dalam menilai struktur dan fungsi jantung.6  Ekokardiografi dapat memberikan informasi mengenai keadaan ruang jantung seperti : volume, penebalan dinding, fungsi katup maupun fungsi sistolik dan diastolik.5 Pemeriksaan ekokardiografi pasien ini adalah dilatasi LA, LV, Severe MR ec flail PML, PH (-), fungsi sistolik LV normal dengan LVEF 70%.

Kateterisasi Jantung
Kateterisasi jantung memungkinkan untuk mengetahui tekanan intrakardiak, mengukur kardiak output, mendeteksi kelainan katup, mengukur LVEF, dan mendeteksi adanya kelainan atau penyakit dalam pembuluh koroner.6 Angiografi koroner diindikasikan pada pasien dengan angina pektoris atau iskemik miokard khususnya bila terdapat bukti adanya penyakit jantung koroner maupun penurunan EF pada pemeriksaan non invasif.

Monday, February 6, 2017

Tatakelola Anti Thrombotic Pasien NSTEMI pada Usia Lanjut



Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan untuk menurunkan angka kejadian iskemik pada pasien ACS, yang mempunyai kompensasi berupa peningkatan resiko perdarahan berhubungan dengan awal mortalitas.

Sampai saat ini memang belum ada studi spesifik mengenaik antitrombotik terapi pada pasien usia lanjut dengan SKA. Meskipun demikian analisis subgroup ‘pivotal trial’ merupakan sumber utama informasi tentang keamanan dan efikasi dari obat-oabt antitrombotik pada populasi pasien ini.

Pada CURE trial, menunjukkan bahwa penggunaan clopidogrel selama 12 bulan lebih superior dibanding aspirin untuk menurunkan angka kematian karena kardiovaskular, infark myocard atau stroke pada pasine dengan NSTEACS, hanya subanalisis umur tertentu yang eenyediakan laporan tentang perbedaan cut off point yaitu 65 tahun, mengungkapkan bahwa tidak ada keuntungan baik absolute maupun relative pada pasien lanjut usia (usia >65 tahun dibanding yang lebih muda).

Pada TRITON TIMI 38 trial, dimana prasugrel menurunkan angka kematian kardiovaskuler, infark myocard atau stroke dibandingkan dengan clopidogrel pada pasien ACS yang dilakukan PCI, namun tidak ada keuntungan yang terlihat pada 13% pasien yang lebih tua dari 75 tahun.

Walaupun pada kenyataannya terdapat keuntungan yang diamati pada pasien berusia lanjut yaitu hampir tidak ada peningkatan resiko perdarahan mayor yang ditemukan. Karena alasan tersebut, rekomendasi dosis maintenance prasugrel pada pasien berusia lebih dari 75 tahun dengan SKA yang telah dilakukan PCI, dosisnya dikurangi menjadi setengahnya (dari 10 menjadi 5 mg per 24 jam).

Pada Trilogi Trial, menguji keamanan dan efikasi dari prasugrel dibandingkan dengan clopidogrel selama 30 bulan pada pasien dengan NSTEACS. Diantara 2083 pasien yang berusia 75 tahun atau lebih tua, tidak ada keuntungan yang berhubungan dengan resiko perdarahan mayor pada prasugrel 5mg/24 jam, resikonya terlihat sama antara dosis 5mg/24 jam untuk usia tua dibanding dengan usia muda dengan dosis konvensional.

Pada PLATO Trial, reduksi signifikan pada kejadian iskemik dan total mortalitas antara ticagreor vs clopidogrel pada pasien SKA. Umur cut off yang digunakan disini adalah 75 tahun atau lebih tua vs lebih muda, menunjukkan tidak ada peningkatan keuntungan pada usia tua. Meskipun demikian, ketika menganalisa umur sebagai variable kontinyu, keuntungannya berupa menurunkan resiko primary end point dan ‘all cause mortality’ yang meningkat secara progresif sesuai umur (dari pasien termuda sampai tertua) namun hal ini juga berhubungan dengan peningkatan resiko perdarahan mayor non CABG.

Obat anti thrombotic intravena yang sering digunakan yaitu, cangrelor, yang diteliti dalam jumlah besar, double blind, randomized trials. Pada data pasien dianalisa bahwa cangrelor menurunkan resiko primary outcome sebesar 19% (kematian, infark myocard, ischaemia driven revaskularisasi, atau stent thrombosis pada 48 jam) dan sten thrombosis saja sebesar 41%. Tidak ada perbedaan pada ‘primary safety outcome’ namun cangrelor meningkatkan perdarahan ringan GUSTO. Ketika umur digunakan sebagai bahan pertimbangan, hal ini menyebutkan bahwa terdapat keuntungan antara pasien berusia 75 tahun atau lebih tua dibandingkan dengan pasien berusia muda dengan menunjukkan adanya peningkatan resiko perdarahan pada usia tua pada penggunaan cangrelor dibandingkan clopidogrel.

Glycoprotein IIb/IIIa receptor inhibitors tidak lagi direkomendasikan sebaga terapi rutin pada pasien dengan NSTEACS. Studi sebelumnya menampakkan bahwa efikasinya tetap stabil , peningkatan resiko perdarahan sesuai denga progresifitas usia, peningkatan rasio risk/benefit. Pada kenyataannya, penggunaan obatobat ini merupakan salah satu predictor perdarahan terkuat pada usia lanjut yang terkena SKA, oleh karena itu perlu diberikan secara hat-hati.

Beberapa studi, seperti CRUSADE, menunjukan terapi antithrombotic jarang digunakan pada usia lanjut, meskipun ketiadaan kontraindikasi. Hal ini mungkin yang diperhatikan pada dokter terkait resiko komplikasi yang besar pada pasien grup ini, yang dikonfirmasi dengan penelitian. Disisi lain, lebih dari 42% dari semua pasien NSTEACS diberikan minimal 1 obat antithrombotic secara berlebihan. Sebagai catatan, kesalahan mungkin terjadi dibeberapa grup yang terkait perdarahan dan adverse events seperti usia lanjut, wanita, dan pasien dengan berat badan rendah. Berikut beberapa alasan yang menjelaskan mengapa overdose obat parenteral sangat sering terjadi pada usia lanjut. Adanya berat badan yang rendah, terutama pada wanita usia lanjut dengan massa otot kecil menyebabkan overdose ketika pemberiannya tidak sesuai dengan berat badan. Tetapi juga overestimasi terjadi karena didasarkan pada fungsi ginjal, karena jarang sekali menemukan kadar kreatinin normal pada pasien kurus dengan gangguan ginjal berat, namun hal ini sering terjadi.